Kemah Bakti Nusantara (Kembara) tahun ini ada nuansanya ber”BEDE” sangat kuat. Kembara tahun ini saya sangat banyak mendapat manfaat. Sebagai kader PKS, di kegiatan ini harus memunculkan karakter siap memimpin dan siap dipimpin. Buktinya, saat peserta yang rata-rata para “sesepuh dan pinisepuh” disuruh push up oleh panitia karena tidak membawa sebagian perlengkapan yang sudah ditentukan; mereka taat.
Saat peserta dilarang beli di warung; mereka taat, dan setelah ada qoul jadid tentang beli di warung, peserta juga taat dengan senang hati, he he. Ketika seluruh DPTW disuruh panitia menjadi petugas upacara penutupan pun, mereka taat. Indah sekali pemandangan persaudaraan di kembara ini, mengalahkan indahnya pantai Madura. Baarokallahu fiikum, semoga suasana indah ini senantiasa mengiringi perjuangan kita sampai mendapat kemenangan bersama baik di dunia maupun di akhirat.
Uniknya, di kembara ini ada seambrek yel dan slogan penyemangat perjuangan seakan-akan kalah viral dengan kalimat “bede bedena bede, bede” yang di”viralkan” salah satu regu saat haflah. Kalimat “bede bedena bede, bede” sebenarnya sudah susunan kalimat sempurna, dan biasa dipakai kalangan Maduriyiin untuk tes kemampuan makhorijul huruf dan “tajwid” dalam berbahasa Madura yang artinya “ada tempatnya bedak, bedah/pecah”. Jadi, satu kalimat dengan empat kata yang tulisannya sama tapi makna keempatnya berbeda, alias beda nada beda makna.
Meskipun kalimat itu bukan baru di telinga saya, karena saat saya berkhidmat di pesantren, ada shohib dari madura yg mengujikan bahasa madura sesama santri dengan melafalkan kalimat itu juga, malah tanpa akhiran na, jadi hanya “bede bede bede bede”., unik khan? He he.
Pun, kalimat itu juga yang disepakati untuk yel di sesi video terakhir (setelah foto bersama) sambil membubarkan diri. Eh, ternyata bukan saya saja yang penasaran kenapa yel ber”bede” ini yg jadi viral di kembara ini. Setelah bubaran sesi foto tsb, sampai-sampai Bu Lilik Hendarwati juga menanyakan ke ustadz Abdurahman, “hubungannya apa yel bede ini dengan kembara,ustaadz?”. Sepertinya ustadz Abdurrahman sudah menjawab meski dengan canda khas beliau.
Saya jadi ingat, ada kaidah dalam Bahasa Arab yang menyebutkan: Li kulli maqam maqal, wali kulli maqal maqam. Maknanya adalah bahwa setiap perkataan itu ada tempat terbaik dan setiap tempat memiliki perkataan (yang terucap) yang terbaik pula. Tidak setiap kata sesuai di setiap tempat, pun sebaliknya tidak setiap tempat sesuai dengan perkataan yang diucapkan. Dengan kalimat “bede bede bede bede” itu, peserta kembara sepertinya “dipaksa” utk bisa berhati-hati menentukan keputusan (membaca) dari realita kata-kata yg ada kesamaan dan kemiripan. Karena di kalimat tersebut jelas-jelas ada perbedaan cara/nada baca agar maknanya juga benar.
Setelah kembara ini, (sepertinya) kita dilatih untuk tidak asal menempatkan/memakai dalil untuk setiap realita yang ada. Setiap dalil pasti ada “tempat”nya.
Contoh dalil tentang tamu dan tuan rumah. Bila saya sebagai tuan rumah, maka dalil yang saya pakai seharusnya dalil sebagai tuan rumah: “ihtiroman lidzuyuf” / keutamaan menghormati tamu. Sedang bila saya pas sebagai tamu maka dalil yang saya pakai adalah koidah “Adh-dhoif kal mayyit” / tamu sebagaimana mayit (terserah saja sama tuan rumah dijamu apa). Tahu khan kalo dalilnya “salah tempat”?, bisa bisa yang tamu bilang “mana nih kuenya, tuan rumah harus hormati tamu dong” dan dibalas oleh tuan rumahnya “tamu itu jangan banyak permintaan, adhdhoif kal mayit doong”. He he. Rumit khan.
Contoh lain tentang penempatan dalil: “Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. at-Tirmidzi). Sangat indah kalo yang muda menyibukan diri utk mengamalkan dalil “menghormati yang lebih tua” dan yang tua juga sibuk untuk mengamalkan dalil “menyayangi yang lebih muda”, bukan sebaliknya yang muda nuntut yg tua menyayangi, dan yang tua nuntut untuk dihormati. Dan lagi, seorang istri seharusnya sudah sibuk dengan dalil-dalil kewajiban dia sebagai istri sehingga ndak sempat memakai dalil menuntut hak atas suami, dan seorang suami harus sibuk dengan dalil-dalil kewajiban dia sebagai suami, insyaAllah hak suami istri akan tertunaikan dengan sendirinya. Sehingga tidak saling menuntut hak. Indah khan?
Akhirnya, yel “bede” ini juga melatih saya, kapan saya sibuk memakai dalil kewajiban seorang pemimpin, dan kapan saya sibuk memakai dalil sebagai jundi. Semoga dengan “bede”na PKS ini, meski banyak godaan “bede-bede” yang hanya asesoris dunia kita semua senantiasa diberikan istiqomah oleh Allah Swt, karena sebagaimana kita fahami, partai ini hanyalah sebagai “bede” yang menyatukan perjuangan kita dan dijauhkan dari segala anasir per”bede”an.
“de bede” saja ustadz-ustadz kita ini….. he he….
*Joko Ngalam yg sedang blajar nulis