Bapakku baru saja pulang
Dalam letihnya dia datang dengan senyuman
Diciumnya kening ibu sembari menyisipkan sejumlah uang di tangannya
Ibu diam
Sedetik kemudian dua titik airmata meluncur di pipinya yang keriput
“Cuma segini pak?’ tanyanya tersendat
Bapak menghela nafas panjang.. “Iya bu, maaf. Bapak masuk angin tadi.
Jadi kuminta Yadi menggantikanku menarik becak hari ini.
Setengah pendapatan kuberikan padanya
Dia butuh uang untuk anaknya yang sakit”.
Ibu menghela nafas berat.
“Harga-harga mulai naik, pak,” bisiknya resah.
“Besok pemerintah menaikkan harga minyak”.
“Iya, aku tahu bu. Seharian ini kulihat mahasiswa demo di mana-mana”.
“Hari ini Haji Saman menagih uang kontrakan dan besok Dita harus bayar uang sekolah”.
Kegusaran menyergap.
Bapak hanya diam.
Ibupun akhirnya tidak berkata banyak lagi.
Aku beringsut masuk ke kamar.
Memikirkan negeri ini dan persahabatan kami dengan kemiskinan.
Seumur hidup bergulat dan bertahan.
Seperti sebuah lingkaran, selalu berulang.
Sementara pemerintah tampaknya hanya bisa berkata-kata.
Lama-lama kudengar bapak berkata,
“Kita sudah terlalu sering dilupakan, bu. Bahkan aku sendiri sudah lupa, apakah kita warga negeri ini.”
*http://notlurking.com/ow.ly/idBw